Senja temaram menyeruak ke permukaan, rintik, basah
Menyisakan dingin dan butiran langit yang marah
Menumpahkan air mata dengan beringas parah
Membasahi ibu kota hingga ke dalam tanah
Hantaman-hantaman keras air menabrak pijakan kaki kita
Seolah tempat ini membutuhkan sebuah telaga,
Jalur yang dipakai untuk 1 kendaraan, kini terisi oleh antrian
Penumpang memandang hanya dengan sorot kelelahan
Berjejalan berbasah-basahan
Berharap akan adanya gerakan
Tangan kanan sibuk menggapai pegangan
Tangan kiri berat memanggul bawaan,
Akhirnya jembatan penghubung terlihat mata
Tempat transit yang penuh lautan manusia
Hanya mampu tercengang melihat wajah-wajah merana
Menanti giliran masuk yang terasa seabad lamanya
Beruntung tujuan hasrat hati tak serupa
Lancar dan sepi pintu sang penjemput terbuka
Kaki pun melangkah dengan riang gembira.
Stasiun lembab menyambut dengan sendu
39 pun siap melaju
Perempatan menuju Mangga Dua terdengar mengaduh
Bagaimana tidak? Moncong dan pantat besi saling beradu
Layaknya disihir mantra pembeku
Seinchi pun tak kuasa tuk maju,
Setir dibanting dan arah berputar
Berharap mendapat solusidan jalan keluar
Tak disangka terjebak hal serupa di Mangga Besar
Kaki menekuk, pantat pegal, keringat terumbar
Dinginnya hujan tak sanggup menghapus panas yang menguar
Maju, mundur, maju, mundur,
Para sukarelawan berteriak dengan semangat berkobar-kobar
Dengan tujuan membuat jalan kembali lancar.
Cepat, lambat, cepat, lambat
Ritme yang menghantar perjalanan yang bikin tobat
Pertanyaan yang terlontar hanya, “Sudah dekat?”
Jawaban yang keluar memang, “Masih merambat”
Lalu rintangan datang ketika jarak tak lagi seberapa menghambat,
Lampu indah dengan 3 warna di pinggiran jalan
Berpendar merah untuk memperingatkan
Dan dengan patuh semua tertahan
Ketika dirasa penantian mulai membuat heran
Dan lampu ini dirasa tak berkawan
Barulah ketahuan dan bikin gregetan
Merah tak pernah menjadi hijau, man!
Penanda jalanan rusak dan tak ada perbaikan
Kembali turun tanganlah para sukarelawan
Mengatur dengan baik arus laju di perempatan
Tanpa bantuan lampu penunjuk giliran
Kemanakah yang seharusnya menyelesaikan?
Jangan tanya, tak nampak seorangpun malahan.
Kali besar Mangga Dua Square telah kelihatan
Begitupun jalan masuk menuju peristirahatan
Namun untuk memutar pun dihadang lawan
Mau tak mau harus mengambil keputusan
Demi kaki pegal adalah baiknya berjalan.
Bisa dirasa bisa ditebak sesuai bayangan
Air menggenang setinggi cat kalengan
Membenamkan sandal limabelas ribuan
Tak bisa dipungkiri harus terucap salam perpisahan
Atas kesetiaan yang telah ditunjukkan
Sandal malang kehilangan harapan
Tuk menemani hingga hari kelulusan
Karena ternyata tak sanggup bertahan.
Inilah cerita sepanjang jalan kenangan
Dari Sumber Waras ke Pademangan
Yang ditempuh selama 3 jam perjalanan.
-Hedwig
Jakarta (pastinya, DIMANA lagi adai yang kaya gini? :p), 14 Oktober 2010, 16.40-19.40
No comments:
Post a Comment